Anwar menyatakan, berdasarkan hasil analisis panitia kerja UN yang diketuainya diketahui beberapa kelemahan UN. Kelemahan itu seperti standar mutu satuan pendidikan belum sama antara kota dan pedalaman. Standarisasi ruang kelas, sarana prasarana dan guru belum sama sehingga tidak adil jika UN dilakukan secara seragam di tiap kota.
Kelemahan kedua, APBN untuk pendidikan sebanyak 20 % senilai Rp 243 triliun belum mampu mengatasi pembiayaan perbaikan mutu standar satuan pendidikan. Ini dikarenakan postur anggaran pendidikan tidak dikelola dengan tepat. ”Kami akui, komisi X belum mampu memperbaiki postur anggaran pendidikan itu,” tambahnya.
Rully menambahkan, penyelenggaraan UN yang serentak juga berpengaruh pada teknis penyelenggaraan seperti pencetakan dan distribusi soal. Menurutnya, adanya kebocoran dan kecurangan sangat berpengaruh pada kredibilitas standar UN dan mutu pendidikan nasional. Sementara bentuk soal pilihan ganda tidak mendorong anak untuk berkonsentrasi penuh untuk belajar dan hanya mengandalkan bimbingan belajar. Selain itu soal multiple choice menyebabkan anak tidak menguasai pelajaran pada semester akhir dan hanya menggiring siswa untuk menghapal dan menghitung. ”Kenyataannya banyak siswa yang menderita gangguan psikologis dan merasa banyak ketidak adilan pada UN,” imbuhnya.
Standar 5,5 berlaku sejak UN 2009
Mulai tahun 2009 Pemerintah mematok nilai minimal 5,50 untuk enam mata pelajaran.
Nilai minimum tersebut berlaku untuk sekolah tingkat SMP dan SMA/SMK. Sedangkan untuk standar nilai kelulusan di tingkat SD, saat ini belum ditentukan, masih dibahas di Departemen Pendidikan.
Kenaikan Standar Kelulusan UN Tampak Berat untuk NTT
Kenaikan standar nilai ujian nasional (UN) dari 5,25 menjadi 5,5 pada UN tahun 2009 semakin memberatkan tingkat kelulusan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketika pemerintah memberlakukan standar kelulusan 5,25 saja daerah ini berada pada urutan terakhir dari seluruh provinsi.
Pengamat Pendidikan Nusa Tenggara Timur (NTT), John Manulangga, di Kupang menilai, Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditetapkan ada delapan standar.
Kedelapan standar itu antara lain kelulusan nasional, sarana dan prasarana pendidikan, guru, dan standar kurikulum. Namun, sampai hari ini pemerintah hanya menerapkan secara nasional, yakni standar kelulusan.
Soal sarana dan prasarana pendidikan, mutu guru, kurikulum, perpustakaan sekolah, laboratorium sekolah, dan seterusnya tidak mendapat perhatian. Mungkin sekolah-sekolah di Jakarta atau kota-kota besar sudah terpenuhi kedelapan standar itu, tetapi di daerah-daerah belum sama sekali, demikian pendapatnya.
Mantan Kepala Dinas Pendidikan NTT ini menuturkan, pemerintah hanya menerapkan standar kelulusan nasional, tetapi mengabaikan tujuh standar lainnya. Padahal, kedelapan standar itu merupakan satu kesatuan, yang saling menunjang untuk menentukan standar kelulusan sebuah ujian nasional.
Di NTT masih banyak sekolah dasar dan menengah tidak punya laboratorium dan perpustakaan sekolah, guru-guru yang mengajar di SD 95 persen lulus sekolah menengah, ribuan sekolah dasar dan menengah tidak memiliki guru eksakta, dan partisipasi orangtua siswa masih sangat rendah.
Penetapan standar nilai kelulusan nasional tahun 2008 sebesar 50,25 saja NTT hanya menempati 65 persen untuk tingkat SMA/SMK, SMP 46 persen, dan SD 34 persen. Secara nasional, mutu pendidikan di NTT berada pada urutan terakhir dari seluruh provinsi.
Jika standar nilai kelulusan itu dinaikan lagi pada UN 2010 menjadi lebih dari 5,5 maka persentase kelulusan dalam ujian nasional (UN) makin terpuruk. Makin banyak sekolah peserta UN tidak mampu meluluskan siswa sama sekali seperti tahun 2007 dan 2008.
Apalagi kalau tidak ada upaya pembaruan dari pemda provinsi dan kabupaten/kota setelah UN tahun 2008. Semestinya kegagalan dalam UN tahun 2007 dan 2008 dievaluasi bersama untuk melihat titik lemahnya, kemudian dilakukan perbaikan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga NTT Tobi Uly membenarkan, dengan kenaikan standar kelulusan itu, NTT makin terpuruk. Namun ia mengakui, sejak September 2008 telah melakukan persiapan UN bekerja sama dengan Badan Standar Nasional Pendidikan guna menyusun standar kompetensi kelulusaan bayangan bagi seluruh SMP dan SMA/SMK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar